Februari 2001 di Sampit terjadi konflik antar suku yakni antara Suku Dayak dan Suku Madura. Hanya dalam jangka 2 hari Kota Sampit dikuasai oleh Madura. Tapi pada malam yang ketiga Suku Dayak melakukan penyerangan besar-besaran di dua Kecamatan: Baamang dan Mentawa Baru Ketapang, dua kecamatan yang 85 % penduduknya terdiri dari etnis Madura. Ribuan nyawa yang melayang akibat penyerangan itu. Rumah-rumahpun tidak sedikit yang dibakar.
Besoknya dari Sekretariat Pondok Pesantren Hidayatullah Imran menuju kampus untuk menjenguk keadaan santri-santri dan teman-teman, kendatipun oleh petugas keamanan orang-orang belum diperkenankan berkeliaran. Tapi setelah menyebut nama M. Ranan Bauti (Demang Kepala Adat Dayak Kalteng) sebagai salah seorang Penasihat Hidayatullah, Imran-pun diizinkan meneruskan perjalanan.
Setelah Imran M. Djufri sampai di kampus dia bersyukur sekali karena suasana kampus ada saja dalam keadaan aman. Hanya ada dua orang santri putri yang masih SD dari etnis Madura yang sempat diungsikan. Dikhawatirkan kalau terjadi sesuatu atas dirinya.
Satu minggu lamanya terjadi pembantaian yang sangat mengerikan, membuat Kota Sampit menjadi kota yang bersimbah darah dan menjadi kota mati selama berbulan-bulan.
Banyak sekali ditemukan sosok manusia yang tidak bernyawa lagi disungai-sungai, di pinggir-pinggir jalan, di lorong-lorong. Untung pemerintah segera membentuk TPM (Tim Pemburu Mayat).
Yang paling memprihatinkan dalam hubungannya dengan terjadinya tragedi ini karena ada setengah bulan lamnaya tidak terdengar suara azan, kaset-kaset tadarrus Al-Qur'an, di mesjid-mesjid selain di kampus Pondok Pesantren Hidayatullah.
Kurang lebih tiga bulan lamanya tidak ada kegiatan membangun Pondok. Imran M. Djufri dan kawan-kawan yang masih bertahan tinggal di kampus hanya mengajar dan membimbing setiap hari anak-anak kecil sebanyak 20 orang dan anak SMU yang masih tersisa 5 orang.
Untuk keperluan hidup sehari-hari istri Imran terpaksa membuat kue-kue kemudian dititip di warung-warung yang ada di terminal dan pasar. Imran dan kawan-kawan juga menggalakkan penanaman sayur-sayuran untuk dapat mengatasi kekurangan dana.
Terasa sekali sulitnya mengembalikan kondisi Pondok pasca kerusuhan. Satu setengah tahun lamanya setelah anak-anak Pak Bupati tamat mengaji, Imran dan istrinya tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Pak Bupati. Petugas Hidayatullah ini berusaha menjaga jarak dengan orang nomor satu di Kotawaringin Timur ini. Tiba-tiba datang panggilan lewat ajudan Pak Bupati untuk datang ke rumah dinas Bupati. Ternyata istri Pak Bupati sangat mengharap untuk dapat diajar ilmu tajwid. Setelah Imran berunding dengan istrinya ternyata Miftach, demikian istri Imran sering disapa, menyanggupi datang mengajar dua kali seminggu.
Memasuki tahun 2002 kondisi Sampit mulai kembali normal. Roda perekonomian mulai berputar kembali. Di pasar nampak orang-orang mulai ramai berbelanja. Kebanyakan terdiri dari orang-orang Jawa dan Banjar. Kegiatan pembangunan di Pondok juga mulai berjalan karena donatur-donatur yang tadinya mengungsi akibat kerusuhan sudah kembali. Kegiatan da'wah yang selama ini seolah-olah berhenti mulai bergerak lagi. Beberapa orang anak MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dari etnis Jawa diajak menangani TK/TPAl-Qur'an yang sudah berbulan-bulan macet ditinggalkan oleh orang-orang Madura.
Istri Imran M. Djufri juga diminta oleh kelompok pengajian ibu-ibu untuk menadakan Daurah Al-Qur'an, diprogramkan dua kali dalam sebulan. Undangan ceramah dan khutbah Jum'at mulai juga berdatangan baik dari mesjid Muhammadiyah ataupun dari mesjid milik warga NU.
Tahun 2003 Miftach mendapat tugas yang masih dalam koridor da'wah yakni mengkordinir Majlis Ta'lim di rumah Pak Bupati.
Telah menjadi lumrah dalam perjuangan menegakkan kebenaran bahwa ada yang senang tapi ada juga yang tidak senang. Demikianlah yang terjadi di Desa Sumber Makmur, tempat Pondok Pesantren Hidayatullah Sampit berkedudukan. Dipenghujung tahun 2002, seorang tokoh agama di daerah ini yang memang sejak awal tidak setuju dengan kehadiran Hidayatullah di desa ini, menyuruh seorang pemuda desa mengambil sesuatu yang disebut guna-guna di daerah pedalaman. Pemuda itu diperintahkan agar barang itu ditaruh di bawah jembatan masuk pondok. Maksudnya agar seluruh penghuni pondok meninggalkan tempatnya. Namun anak tersebut justru menaruh barang tersebut di bawah jembatan jalan masuk ke rumah tokoh agama tersebut. Mungkin karena diyakini kemujarraban guna-guna tersebut sehingga terbukti. Tapi bukan penghuni pondok yang meninggalakan tempat tapi dialah yang minggat meninggalkan rumahnya diusir oleh penduduk kampung karena berbuat serong terhadap tetangganya.
Tahun 2003 kegiatan da'wah semakin digencarkan. Imran dan kawan-kawan menembus sampai ke daerah pedalam yang lumayan jauh dari kota disamping tetap menjaga kelancaran da'wah di dalam kota. Hubungan baik dengan oknum pejabat juga tetap dijalin. Sehingga mungkin karena hubungan baik itu sehingga Camat Bamaang melihat bahwa yang paling tepat diserahi amanah untuk memanfaatkan yayasan milik etnis Madura yang telah ditinggalkan itu adalah Hidayatullah. Yayasan ini memiliki sebuah asrama santri dan 3 lokal belajar yang permanen.
Tahun 2004 yakni pada bulan Ramadhan 1425 Pondok Pesantren Hidayatullah mengadakan tabligh akbar yang diisi oleh Ir.H. Anshar Amiruddin dari Hidayatullah Balikpapan. Dalam pelaksanaan safari Ramadhan Imran M. Djufri sebagai pimpinan Pondok diminta oleh Wakil Bupati Drs. HM. Thamrin Noor, SH, MM sebagai pendamping didalam menjalankan da'wah keliling itu
Suratman yang pernah bertugas di Pulau Penyu Derawan, Berau dan Medan Sumatera Utara ini menggantikan Imran M.Djufri sebagai pimpinan. Dia berda'wah masuk ke kampung-kampung dengan menempuh jarak yang cukup jauh. “Ini saja yang dapat saya lakukan, disamping berda'wah siang dan malam juga kami membina TPA dan mengedar majalah Suara Hidayatullah sebanayak 240 eksemplar". Namun ke depan putra kelahiran Bima ini memasang tekad untuk mengembangkannya lebih maju, terutama dari segi pesona Islami.
0 komentar:
Posting Komentar